My Blog

Assalamualaikum..

Selamat datang di my blog
Smoga dapat bermanfaat buat semua yaa..
Mohon maaf apabila artikel-artikelnya kurang memuaskan..
"tidak ada yg sempurna di dunia ini,, mari kita saling melengkapi saja"

wassalam

Jumat, 16 Desember 2011

Ketatanegaraan Indonesia

Oleh: Siti Fatimah
PGSD Kelas H

A. LATAR BELAKANG SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
Sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.

Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD itu sesungguhnya tidaklah dimaksudkan sebagai undang-undang dasar yang bersifat permanen. Ir. Soekarno yang mengetuai sidang-sidang pengesahan UUD itu dengan tegas menyebutkan bahwa UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara. jika keadaan telah memungkinkan, akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang akan menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Aturan Tambahan UUD 1945 telah secara implisit menyebutkan bahwa UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu, hanya akan berlaku 12 bulan lamanya. Dalam enam bulan sesudah berakhirnya Perang Asia Timur Raya, Presiden sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun segala peraturan dan membentuk lembaga-lembaga negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945, termasuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam 6 bulan setelah MPR terbentuk, majelis itu sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun undang-undang dasar yang baru.
Pemahaman dan penafsiran terhadap ketentuan Aturan Peralihan di atas, didasarkan atas notulen perdebatan dalam rapat-rapat pengesahan UUD 1945, yang menjadi latar belakang perumusan ketentuan Aturan Peralihan itu. Pemahaman itu didukung pula oleh fakta sejarah, dengan diterbitkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang menyerukan kepada rakyat untuk membentuk partai politik dalam rangka penyelenggaraan pemilihan umum, yang akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946. Dalam maklumat itu antara lain dikatakan bahwa pemilu diperlukan agar pemerintahan negara kita dapat disusun secara demokratis. Mungkin dengan pemilihan umum itu, demikian dikatakan dalam maklumat, Pemerintah kita akan berubah, dan undang-undang dasar kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak. Sayangnya pemilihan umum 1 Februari 1946 itu tidak dapat dilaksanakan. Situasi dalam negeri memburuk akibat kedatangan tentara sekutu yang diboncengi pasukan Belanda. Perang Kemerdekaan berkecamuk, pusat pemerintahan pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Karena Pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka UUD 1945 tetap berlaku, sehingga digantikan dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, pada tanggal 27 Desember 1949. UUD inipun diganti lagi dengan UUD Sementara Tahun 1950, setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat, dan kita kembali ke susunan Negara Kesatuan, tanggal 17 Agustus 1950. Pemilihan Umum 1955 telah menghasilkan terbentuknya Konstituante untuk menyusun UUD yang bersifat tetap. Namun majelis ini dibubarkan Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sebelum berhasil menyelesaikan tugasnya. Dekrit itu, dengan segala kontroversi yang terdapat di dalamnya, menegaskan berlakunya kembali UUD 1945. Jadi, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sampai tibanya era reformasi, sebenarnya tidak pernah terjadi perubahan undang-undang dasar. Apa yang terjadi ialah pergantian undang-undang dasar, dari yang satu ke yang lainnya.

Pendapat mengenai UUD 1945 harus diubah mengingat latar belakang historis penyusunanannya, maupun tuntutan perkembangan zaman, bukanlah pendapat yang populer di era sebelum reformasi. Pendapat yang dikembangkan pada masa itu ialah UUD 1945 tidak dapat diubah. Kalau ingin diubah harus melalui referendum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR. Saya berpendapat bahwa TAP MPR itu menyalahi ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Pendapat Profesor Notonagoro ketika itu, juga dijadikan pegangan, bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah. Jika pembukaan diubah, maka akan terjadi pembubaran negara. Banyak negara di dunia ini yang mengubah seluruh konstitusinya, tanpa menyebabkan bubarnya negara itu. Saya berpendapat, negara kita ini baru bubar, jika kita mencabut teks Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Negara kita sudah ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, tanpa bergantung kepada UUD 1945 yang baru disahkan sehari kemudian.

Ketidakinginan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di zaman sebelum reformasi, bukanlah masalah hukum tata negara, tetapi masalah politik. Politik dapat menentukan diubah atau tidaknya UUD. Tentu perubahan itu dilakukan dengan cara-cara demokratis dan konstitusional. Di luar cara itu, adalah perubahan melalui revolusi. Jika cara ini ditempuh, maka sangat tergantung apakah tindakan itu dapat dipertahankan atau tidak. Jika berhasil, maka konstitusi itu akan diterima dan kemudian menjadi sah. Jika gagal, maka perubahan itu dengan sendirinya pula akan gagal. Mereka yang terlibat dalam revolusi yang berhasil, mungkin akan menjadi pahlawan. Sebaliknya kaum revolusioner yang gagal, mungkin akan dituduh sebagai pengkhianat.

Keinginan politik untuk mengubah UUD 1945 di era reformasi didorong oleh pengalaman-pengalaman politik selama menjalankan UUD itu dalam dua periode, yakni periode yang disebut sebagai Orde Lama (1959-1966) dan periode yang disebut sebagai Orde Baru (1966-1998). Seperti saya katakan di awal ceramah ini, UUD 1945 memang dibuat dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga mengandung segi-segi kelemahan, yang memungkinkan munculnya pemerintahan diktator, baik terang-terangan maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945 sebelum amandemen, memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat, meskipun disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaan seluruh rakyat, dalam kenyataannya susunan dan kedudukannya diserahkan untuk diatur dalam undang-undang.

Presiden Soekarno bahkan mengangkat seluruh anggota MPR tanpa proses Pemilu. Presiden Soeharto telah merekayasa undang-undang susunan dan kedudukan MPR, sehingga majelis itu tidak berdaya dalam mengawasi Presiden, dan bahkan tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara optimal. UUD 1945 juga mengandung ketidakjelasan mengenai batas periode masa jabatan Presiden. MPRS pernah mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. MPR Orde Baru berkali-kali mengangkat Presiden Soeharto, sampai akhirnya, atas desakan berbagai pihak, menyatakan berhenti di era awal reformasi, tanggal 21 Mei 1998. Keinginan untuk menghindari kediktatoran, baik terbuka maupun terselubung, dan membangun pemerintahan yang demokratis, menjadi latar belakang yang penting yang mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi.

Keinginan untuk menata ulang kedudukan lembaga-lembaga negara, agar terciptanya check and balance juga terasa begitu kuatnya. Demikian pula keinginan untuk memperjuangkan tegaknya hukum dan pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Keinginan untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada daerah-daerah juga demikian menguat, sehingga kewenangan-kewenangan Pemerintah Daerah juga perlu diperkuat, untuk mencegah terjadinya disintegrasi. Pada akhirnya, keinginan yang teguh untuk membangun kesejahteraan rakyat, yang telah lama menjadi harapan dan impian, terasa demikian menguat pada era reformasi. Itulah antara lain, latar belakang keinginan dan aspirasi yang mengiringi perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Namun perubahan itu dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999, yang diikuti oleh partai-partai politik, baik lama maupun baru, yang ternyata tidak menghasilkan kekuatan mayoritas. Dalam situasi seperti itu, dapat dipahami jika perumusan pasal-pasal perubahan penuh dengan kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu mudah dipahami dari sudut pandang hukum tata negara. Proses perubahan itu dipersiapkan oleh Panita Ad Hoc MPR, yang mencerminkan kekuatan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya. Akhinya terjadilah empat kali perubahan, dalam bentuk penambahan dan penghapusan ayat-ayat, namun secara keseluruhan, tetap terdiri atas 37 Pasal, yang secara keseluruhan, ternyata lebih banyak materi muatannya dari naskah sebelum dilakukan perubahan.

Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua fraksi yang ada di MPR sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pikiran-pikiran dasar bernegara sebagaimana termaktub di dalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi pikiran-pikiran dasar itu ke dalam struktur ketatanegaraan, sebagaimana akan saya jelaskan nanti, memang cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan ini, memang menunjukkan keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari perdebatan yang bersifat filsafat dan ideologi, yang nampaknya memetik pelajaran dari sejarah perdebatan, baik dalam proses penyusunan UUD 1945 di masa pendudukan Jepang maupun perdebatan-perdebatan yang sama di Konstituante. Dua fraksi, yakni Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Bulan Bintang memang mengusulkan perubahan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sebagaimana teks Piagam Jakarta, khusus yang berkaitan dengan syariat Islam. Namun perubahan itu tidak mereka tujukan kepada Pembukaan sebagaimana kedudukan awal dari Piagam Jakarta. Usul perubahan itu kemudian mereka tarik, mengingat kemungkinan gagal memperoleh kesepakatan. Fraksi PBB menegaskan bahwa mereka menunda memperjuangkan amandemen Pasal 29 itu sampai tiba saat yang memungkinkan untuk memperjuangkannya.


B. PENGERTIAN PENDIDIKAN POLITIK
Kata politik sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang menakutkan, kotor dan harus dihindari, akibat dari pemahaman yang keliru tentang kata ini, serta trauma yang diwarisi oleh generasi muda berkaitan praktek-praktek palitik yang mengesankan perebutan kekuasaan semata dengan menghalalkan segala cara. Warga negara mau tidak mau sebagai warga sebuah negara yang nota bene adalah arganisasi politik besar, terlibat secara pasif maupun aktif. Agar partisipasi nyata warga dapat berjalan efektif, diperlukan pemahaman yang benar tentang politik, melalui pendidikan politik.
Pengertian
Pendidikan politik adalah upaya yang sadar, terencana, sistematis, berkesinambungan, dan menyeluruh bagi setiap warga negara dalam rangka membentuk warga negara yang baik (good citizen), yaitu warga negara yang melek politik (political literacy), memiliki kesadaran politik (political awareness), dan berpartisipasi dalam kehidupan politik (political participation) secara cerdas dan bertanggung jawab.
Pendidikan politik merupakan sarana yang vital dalam pembentukan warga negara atau individu-individu dalam mendapatkan informasi, wawasan serta memahami politik dan peka terhadap gejala-gejala politik yang terjadi di sekitarnya. Selanjutnya, warga negara diharapkan memiliki keterampilan politik sehingga memiliki sikap yang kritis dan mampu mengambil alternatif pemecahan masalah dari masalah-masalah politik yang ada di sekitarnya. Dengan demikian pendidikan politik memberikan landasan yang kuat bagi proses demokrasi.
Pendidikan politik pada hakekatnya adalah meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan hak dan kewajiban warganegara, sehingga memungkinkan partisipasi aktif dalam membangun bangsa lewat projesi masing-masing. Peran perguruan tinggi sebagai sebuah lembaga pendidikan sangat .sentral mengingat mahasiswa yang menjadi suhyek sekaligus obyeknya adalah para pemuda yang beranjak dewasa dan disiapkan tidak saja profesional di bidangnya tetapi juga menjadi pemimpin masa depan. Pendidikan bahasa dan sastra asing, karena terkait dengan pemahaman budaya asing menjadi rawan bila tidak dibekali dengan pemahaman tentang bangsa dan negara sendiri. Selain itu pemahaman politik juga akan memperluas wawasan baik dari segi kosa kata juga dalam karier maupun komunikasi dengan bangsa lain.


C. TUJUAN PENDIDIKAN POLITIK
Pendidikan politik bertujuan untuk membentuk warga Negara yang baik, yaitu warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan dengan baik hak-hak dan kewajibannya sebagai individu warga Negara. Dengan demikian, terwujudnya warga negara yang baik (good citizen) yaitu warga negara yang melek politik, memiliki kesadaran politik, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan tujuan utama dari pendidikanpolitik.
Tujuan pendidikan politik di setiap negara berbeda-beda. Hal ini terjadi karena landasan serta tujuan pelaksanaan pendidikan politik disesuaikan dengan dasar dan falsafah bangsa. Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan warga Negara. Sehingga tujuan pendidikan politik harus sejalan dengan penjabaran tujuan pendidikan nasional.

D. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN PENDIDIKAN POLITIK

1. Pendidikan Kewarganegaraan
Ruang lingkup pendidikan kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.
b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.
c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri , Persamaan kedudukan warga Negara.
e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi.
f. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.
g. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
h. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

2. Pendidikan Politik
Ruang lingkup pendidikan politik meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Politik Nasional
b. Politik Luar Negeri
c. Demokrasi dan HAM
d. Lembaga Politik
e. Kekuasaan Politik
f. Sistem Politik
g. Proses Politik
h. Sistem Kepartaian dan Pemilu

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Yuniarto dan Winarno Narmoatmojo, Implementasi Nilai-nilai Pancasila Sebagai Etika Politik dalam Pendidikan Politik, Universitas Sebelas Maret, Semarang, 2009.
Suteguh Yuwono, Pendidikan Politik di Perguruan Tinggi, Siapa Takut?, Universitas Kristen Maranatha, Jakarta, 2003.
Universitas Gunadarma, Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan, Warta Warga, Jakarta, Maret 2010, http://wartawarga.gunadarma.ac.id, diakses tanggal 25 April 2010.
Yusril Ihza Mahendra, Sistem Ketatanegaraan Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar