My Blog

Assalamualaikum..

Selamat datang di my blog
Smoga dapat bermanfaat buat semua yaa..
Mohon maaf apabila artikel-artikelnya kurang memuaskan..
"tidak ada yg sempurna di dunia ini,, mari kita saling melengkapi saja"

wassalam

Jumat, 16 Desember 2011

Ketatanegaraan Indonesia

Oleh: Siti Fatimah
PGSD Kelas H

A. LATAR BELAKANG SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
Sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.

Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD itu sesungguhnya tidaklah dimaksudkan sebagai undang-undang dasar yang bersifat permanen. Ir. Soekarno yang mengetuai sidang-sidang pengesahan UUD itu dengan tegas menyebutkan bahwa UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara. jika keadaan telah memungkinkan, akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang akan menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Aturan Tambahan UUD 1945 telah secara implisit menyebutkan bahwa UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu, hanya akan berlaku 12 bulan lamanya. Dalam enam bulan sesudah berakhirnya Perang Asia Timur Raya, Presiden sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun segala peraturan dan membentuk lembaga-lembaga negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945, termasuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam 6 bulan setelah MPR terbentuk, majelis itu sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun undang-undang dasar yang baru.
Pemahaman dan penafsiran terhadap ketentuan Aturan Peralihan di atas, didasarkan atas notulen perdebatan dalam rapat-rapat pengesahan UUD 1945, yang menjadi latar belakang perumusan ketentuan Aturan Peralihan itu. Pemahaman itu didukung pula oleh fakta sejarah, dengan diterbitkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang menyerukan kepada rakyat untuk membentuk partai politik dalam rangka penyelenggaraan pemilihan umum, yang akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946. Dalam maklumat itu antara lain dikatakan bahwa pemilu diperlukan agar pemerintahan negara kita dapat disusun secara demokratis. Mungkin dengan pemilihan umum itu, demikian dikatakan dalam maklumat, Pemerintah kita akan berubah, dan undang-undang dasar kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak. Sayangnya pemilihan umum 1 Februari 1946 itu tidak dapat dilaksanakan. Situasi dalam negeri memburuk akibat kedatangan tentara sekutu yang diboncengi pasukan Belanda. Perang Kemerdekaan berkecamuk, pusat pemerintahan pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Karena Pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka UUD 1945 tetap berlaku, sehingga digantikan dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, pada tanggal 27 Desember 1949. UUD inipun diganti lagi dengan UUD Sementara Tahun 1950, setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat, dan kita kembali ke susunan Negara Kesatuan, tanggal 17 Agustus 1950. Pemilihan Umum 1955 telah menghasilkan terbentuknya Konstituante untuk menyusun UUD yang bersifat tetap. Namun majelis ini dibubarkan Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sebelum berhasil menyelesaikan tugasnya. Dekrit itu, dengan segala kontroversi yang terdapat di dalamnya, menegaskan berlakunya kembali UUD 1945. Jadi, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sampai tibanya era reformasi, sebenarnya tidak pernah terjadi perubahan undang-undang dasar. Apa yang terjadi ialah pergantian undang-undang dasar, dari yang satu ke yang lainnya.

Pendapat mengenai UUD 1945 harus diubah mengingat latar belakang historis penyusunanannya, maupun tuntutan perkembangan zaman, bukanlah pendapat yang populer di era sebelum reformasi. Pendapat yang dikembangkan pada masa itu ialah UUD 1945 tidak dapat diubah. Kalau ingin diubah harus melalui referendum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR. Saya berpendapat bahwa TAP MPR itu menyalahi ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Pendapat Profesor Notonagoro ketika itu, juga dijadikan pegangan, bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah. Jika pembukaan diubah, maka akan terjadi pembubaran negara. Banyak negara di dunia ini yang mengubah seluruh konstitusinya, tanpa menyebabkan bubarnya negara itu. Saya berpendapat, negara kita ini baru bubar, jika kita mencabut teks Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Negara kita sudah ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, tanpa bergantung kepada UUD 1945 yang baru disahkan sehari kemudian.

Ketidakinginan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di zaman sebelum reformasi, bukanlah masalah hukum tata negara, tetapi masalah politik. Politik dapat menentukan diubah atau tidaknya UUD. Tentu perubahan itu dilakukan dengan cara-cara demokratis dan konstitusional. Di luar cara itu, adalah perubahan melalui revolusi. Jika cara ini ditempuh, maka sangat tergantung apakah tindakan itu dapat dipertahankan atau tidak. Jika berhasil, maka konstitusi itu akan diterima dan kemudian menjadi sah. Jika gagal, maka perubahan itu dengan sendirinya pula akan gagal. Mereka yang terlibat dalam revolusi yang berhasil, mungkin akan menjadi pahlawan. Sebaliknya kaum revolusioner yang gagal, mungkin akan dituduh sebagai pengkhianat.

Keinginan politik untuk mengubah UUD 1945 di era reformasi didorong oleh pengalaman-pengalaman politik selama menjalankan UUD itu dalam dua periode, yakni periode yang disebut sebagai Orde Lama (1959-1966) dan periode yang disebut sebagai Orde Baru (1966-1998). Seperti saya katakan di awal ceramah ini, UUD 1945 memang dibuat dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga mengandung segi-segi kelemahan, yang memungkinkan munculnya pemerintahan diktator, baik terang-terangan maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945 sebelum amandemen, memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat, meskipun disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaan seluruh rakyat, dalam kenyataannya susunan dan kedudukannya diserahkan untuk diatur dalam undang-undang.

Presiden Soekarno bahkan mengangkat seluruh anggota MPR tanpa proses Pemilu. Presiden Soeharto telah merekayasa undang-undang susunan dan kedudukan MPR, sehingga majelis itu tidak berdaya dalam mengawasi Presiden, dan bahkan tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara optimal. UUD 1945 juga mengandung ketidakjelasan mengenai batas periode masa jabatan Presiden. MPRS pernah mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. MPR Orde Baru berkali-kali mengangkat Presiden Soeharto, sampai akhirnya, atas desakan berbagai pihak, menyatakan berhenti di era awal reformasi, tanggal 21 Mei 1998. Keinginan untuk menghindari kediktatoran, baik terbuka maupun terselubung, dan membangun pemerintahan yang demokratis, menjadi latar belakang yang penting yang mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi.

Keinginan untuk menata ulang kedudukan lembaga-lembaga negara, agar terciptanya check and balance juga terasa begitu kuatnya. Demikian pula keinginan untuk memperjuangkan tegaknya hukum dan pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Keinginan untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada daerah-daerah juga demikian menguat, sehingga kewenangan-kewenangan Pemerintah Daerah juga perlu diperkuat, untuk mencegah terjadinya disintegrasi. Pada akhirnya, keinginan yang teguh untuk membangun kesejahteraan rakyat, yang telah lama menjadi harapan dan impian, terasa demikian menguat pada era reformasi. Itulah antara lain, latar belakang keinginan dan aspirasi yang mengiringi perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Namun perubahan itu dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999, yang diikuti oleh partai-partai politik, baik lama maupun baru, yang ternyata tidak menghasilkan kekuatan mayoritas. Dalam situasi seperti itu, dapat dipahami jika perumusan pasal-pasal perubahan penuh dengan kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu mudah dipahami dari sudut pandang hukum tata negara. Proses perubahan itu dipersiapkan oleh Panita Ad Hoc MPR, yang mencerminkan kekuatan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya. Akhinya terjadilah empat kali perubahan, dalam bentuk penambahan dan penghapusan ayat-ayat, namun secara keseluruhan, tetap terdiri atas 37 Pasal, yang secara keseluruhan, ternyata lebih banyak materi muatannya dari naskah sebelum dilakukan perubahan.

Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua fraksi yang ada di MPR sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pikiran-pikiran dasar bernegara sebagaimana termaktub di dalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi pikiran-pikiran dasar itu ke dalam struktur ketatanegaraan, sebagaimana akan saya jelaskan nanti, memang cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan ini, memang menunjukkan keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari perdebatan yang bersifat filsafat dan ideologi, yang nampaknya memetik pelajaran dari sejarah perdebatan, baik dalam proses penyusunan UUD 1945 di masa pendudukan Jepang maupun perdebatan-perdebatan yang sama di Konstituante. Dua fraksi, yakni Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Bulan Bintang memang mengusulkan perubahan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sebagaimana teks Piagam Jakarta, khusus yang berkaitan dengan syariat Islam. Namun perubahan itu tidak mereka tujukan kepada Pembukaan sebagaimana kedudukan awal dari Piagam Jakarta. Usul perubahan itu kemudian mereka tarik, mengingat kemungkinan gagal memperoleh kesepakatan. Fraksi PBB menegaskan bahwa mereka menunda memperjuangkan amandemen Pasal 29 itu sampai tiba saat yang memungkinkan untuk memperjuangkannya.


B. PENGERTIAN PENDIDIKAN POLITIK
Kata politik sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang menakutkan, kotor dan harus dihindari, akibat dari pemahaman yang keliru tentang kata ini, serta trauma yang diwarisi oleh generasi muda berkaitan praktek-praktek palitik yang mengesankan perebutan kekuasaan semata dengan menghalalkan segala cara. Warga negara mau tidak mau sebagai warga sebuah negara yang nota bene adalah arganisasi politik besar, terlibat secara pasif maupun aktif. Agar partisipasi nyata warga dapat berjalan efektif, diperlukan pemahaman yang benar tentang politik, melalui pendidikan politik.
Pengertian
Pendidikan politik adalah upaya yang sadar, terencana, sistematis, berkesinambungan, dan menyeluruh bagi setiap warga negara dalam rangka membentuk warga negara yang baik (good citizen), yaitu warga negara yang melek politik (political literacy), memiliki kesadaran politik (political awareness), dan berpartisipasi dalam kehidupan politik (political participation) secara cerdas dan bertanggung jawab.
Pendidikan politik merupakan sarana yang vital dalam pembentukan warga negara atau individu-individu dalam mendapatkan informasi, wawasan serta memahami politik dan peka terhadap gejala-gejala politik yang terjadi di sekitarnya. Selanjutnya, warga negara diharapkan memiliki keterampilan politik sehingga memiliki sikap yang kritis dan mampu mengambil alternatif pemecahan masalah dari masalah-masalah politik yang ada di sekitarnya. Dengan demikian pendidikan politik memberikan landasan yang kuat bagi proses demokrasi.
Pendidikan politik pada hakekatnya adalah meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan hak dan kewajiban warganegara, sehingga memungkinkan partisipasi aktif dalam membangun bangsa lewat projesi masing-masing. Peran perguruan tinggi sebagai sebuah lembaga pendidikan sangat .sentral mengingat mahasiswa yang menjadi suhyek sekaligus obyeknya adalah para pemuda yang beranjak dewasa dan disiapkan tidak saja profesional di bidangnya tetapi juga menjadi pemimpin masa depan. Pendidikan bahasa dan sastra asing, karena terkait dengan pemahaman budaya asing menjadi rawan bila tidak dibekali dengan pemahaman tentang bangsa dan negara sendiri. Selain itu pemahaman politik juga akan memperluas wawasan baik dari segi kosa kata juga dalam karier maupun komunikasi dengan bangsa lain.


C. TUJUAN PENDIDIKAN POLITIK
Pendidikan politik bertujuan untuk membentuk warga Negara yang baik, yaitu warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan dengan baik hak-hak dan kewajibannya sebagai individu warga Negara. Dengan demikian, terwujudnya warga negara yang baik (good citizen) yaitu warga negara yang melek politik, memiliki kesadaran politik, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan tujuan utama dari pendidikanpolitik.
Tujuan pendidikan politik di setiap negara berbeda-beda. Hal ini terjadi karena landasan serta tujuan pelaksanaan pendidikan politik disesuaikan dengan dasar dan falsafah bangsa. Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan warga Negara. Sehingga tujuan pendidikan politik harus sejalan dengan penjabaran tujuan pendidikan nasional.

D. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN PENDIDIKAN POLITIK

1. Pendidikan Kewarganegaraan
Ruang lingkup pendidikan kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.
b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.
c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri , Persamaan kedudukan warga Negara.
e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi.
f. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.
g. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
h. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

2. Pendidikan Politik
Ruang lingkup pendidikan politik meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Politik Nasional
b. Politik Luar Negeri
c. Demokrasi dan HAM
d. Lembaga Politik
e. Kekuasaan Politik
f. Sistem Politik
g. Proses Politik
h. Sistem Kepartaian dan Pemilu

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Yuniarto dan Winarno Narmoatmojo, Implementasi Nilai-nilai Pancasila Sebagai Etika Politik dalam Pendidikan Politik, Universitas Sebelas Maret, Semarang, 2009.
Suteguh Yuwono, Pendidikan Politik di Perguruan Tinggi, Siapa Takut?, Universitas Kristen Maranatha, Jakarta, 2003.
Universitas Gunadarma, Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan, Warta Warga, Jakarta, Maret 2010, http://wartawarga.gunadarma.ac.id, diakses tanggal 25 April 2010.
Yusril Ihza Mahendra, Sistem Ketatanegaraan Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 2007.

Ideologi Warganegara

A. Pengertian Ideologi
Pada abad XVIII, Destutt de Tracy menggunakan kata ideologi untuk menunjuk pada suatu ilmu, yaitu sebagai analisis ilmiah dari pikiran manusia. Pada zaman Napoleon, kata ideologi mempunyai makna konotatif, yaitu cacian atau hinaan terhadap bawahannya yang suka berkhayal. Maka kata ideologi kemudian diartikan sebagai kumpulan ide atau pendapat yang abstrak (tidak realistis).
Istilah ideologi dibangun dari dua kata, yaitu idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, dan cita-cita; serta kata logos yang berarti ilmu. Dengan demikian, secara harfiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian-pengertian dasar.
Secara terminologi, banyak sekali rumusan tentang ideologi. Berikut ini beberapa pengertian lain dari ideologi, diantaranya :
a. Alfian mengungkapkan bahwa ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu secar moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai kehidupan.
b. Notonagoro mengatakan bahwa ideologi dapat ditinjau dari dua pengertian, yaitu dalam arti luas ideologi berarti ilmu pengetahuan mengenai cita-cita negara. Sedangkan dalam arti sempit ideologi ialah cita-cita negara yang menjadi basis bagi teori dan praktek penyelenggaraan negara.
c. Moerdiono berpendapat bahwa ideologi adalah kompleks pengetahuan dan nilai yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengelolanya.
d. Di dalam Encyclopedia International disebutkan bahwa ideologi adalah system of ideas, and attitudes which underlie the way of live in a particular group, class, or society.
e. Laboratorium IKIP Malang merumuskan ideologi sebagai seperangkat nilai, ide, dan cita-cita beserta pedoman dan metode melaksanakan atau mewujudkannya.
Secara umum ideologi dapat didefinisikan sebagai seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur. Ideologi juga diartikan sebagai ajaran, doktrin atau ilmu yang diyakini kebenarannya yang disusun secara sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaannya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

B. Jenis-jenis Ideologi
1) Liberalisme
Inti pemikiran dalam konsep liberalisme adalah kebebasan individu. Landasan pemikirannya adalah bahwa manusia pada hakikatnya adalah baik dan berbudi pekerti, tanpa harus diadakannya pola-pola pengaturan yang ketat dan bersifat memaksa terhadapnya. Liberalisme berkembang sebagai respons terhadap pola kekuasaan negara yang absolut pada tumbuhnya negara otoriter yang disertai dengan pembatasan ketat melalui berbagai undang-undang dan peraturan terhadap warga negara.
Sistem pemerintahan dalam ideologi ini harus demokrasi.
2) Konservatisme
Inti pemikiran yang terkandung ialah memelihara kondisi yang ada, mempertahankan kestabilan baik berupa kestabilan yang dinamis maupun kestabilan yang statis. Tidak jarang pula bahwa pola pemikiran ini dilandasi oleh kenangan manis mengenai kondisi kini dan masa lampau. Filsafatnya adalah bahwa perubahan tidak selalu berarti kemajuan. Oleh karena itu, sebaiknya perubahan berlangsung tahap demi tahap, tanpa menggoncang struktur sosial politik dalam negara atau masyarakat yang bersangkutan. Landasan pemikirannya adalah bahwa pada dasarnya manusia lemah dan terdapat ‘evil instinct and desires’ dalam dirinya, karena itu perlu pola-pola pengendalian melalui peraturan yang ketat.
Sistem pemerintahannya boleh demokrasi ataupun otoriter.
3) Komunisme
Gelombang komunisme abad kedua puluh ini tidak bisa dilepaskan dari kehadiran Partai Bolshevik di Rusia yang didirikan oleh Lenin. Gerakan-gerakan komunisme international yang tumbuh sampai sekarang boleh dikatakan merupakan perkembangan dari partai tersebut.
Inti pemikirannya ialah perjuangan kelas dan penghapusan kelas-kelas di masyarakat, sehingga negara hanya sasaran antara. Landasan pemikiran, yaitu penolakan situasi dan kondisi masa lampau, baik secara tegas ataupun tidak; analisa yang cenderung negatif terhadap situasi dan kondisi yang ada; berisi resep perbaikan untuk masa depan dan rencana-rencana tindakan jangka pendek yang memungkinkan terwujudnya tujuan-tujuan yang berbeda-beda.
Sistem pemerintahan di negara komunis adalah otoriter.
4) Marxisme
Dalam batas-batas tertentu bisa dipandang sebagai jembatan antara revolusi Perancis dan revolusi Proletar Rusia tahun 1917.
Berbicara masalah Marxisme, memang tidak bisa lepas dari nama-nama tokoh seperti Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels (1820-1895). Kedua tokoh inilah yang mulai mengembangkan akar-akar komunisme dalam pengertiannya sekarang ini. Transisi dari kondisi masyarakat agraris ke arah industrialisasi menjadi landasan kedua tokoh di atas dalam mengembangkan pemikirannya.
Tiga hal yang merupakan komponen dasar dari Marxisme adalah :
1. Filsafat dialectical and historical materialism;
2. Sikap terhadap masyarakat kapitalis yang bertumpu pada teori nilai tenaga kerja dari David Ricardo (1772) dan Adam Smith (1723-1790);
3. Menyangkut teori negara dan teori revolusi yang dikembangkan atas dasar konsep perjuangan kelas. Konsep ini dipandang mampu membawa masyarakat ke arah komunitas kelas.
Dalam teori yang dikembangkannya, Marx memang meminjam metode dialektika Hegel. Menurut metode tersebut, perubahan-perubahan dalam pemikiran, sifat dan bahkan perubahan masyarakat itu sendiri berlangsung melalui tiga tahap, yaitu tesis (affirmation), antitesis (negation), dan sintesis (unification). Dalam hubungan ini Marx cenderung mendasarkan pemikiran kepada argumentasi Hegel yang menandaskan bahwa kontradiksi dan konflik dari berbagai hal yang saling berlawanan satu sama lain sebenarnya bisa membawa pergeseran kehidupan sosial politik dari tingkat yang sebelumnya ke tingkat yang lebih tinggi. Selain itu, tingkat kemajuan akan bisa dicapai dengan jalan menghancurkan hal-hal yang lama dan sekaligus memunculkan hal-hal baru.
5) Feminisme
Inti pemikiran ideologi ini ialah emansipasi wanita. Landasan pemikirannya bahwa wanita tidak hanya berkutat pada urusan wanita saja melainkan juga dapat melakukan seperti apa yang dilakukan oleh pria.
Sistem pemerintahannya demokrasi.
6) Sosialisme
Hal-hal pokok yang terkandung dalam sosialisme adalah :
- Inti pemikiran : kolektivitas (kebersamaan, gotong royong).
- Filsafat : pemerataan dan kesederajatan bahwa pengaturan agar setiap orang diperlakukan sama dan ada pemerataan dalam berbagai hal.
- Landasan pemikiran : bahwa masyarakat dan juga negara adalah suatu pola kehidupan bersama. Manusia tidak bisa hidup sendiri-sendiri, dan manusia akan lebih baik serta layak kehidupannya jika ada kerja sama melalui fungsi yang dilaksanakan oleh negara.
- Sistem pemerintahan : demokrasi dan otoriter.
7) Fasisme
Semboyan fasisme adalah ‘Crediere, Obediere, Combattere’ (yakinlah, tunduklah, berjuanglah). Fasisme banyak kemiripan dengan teori pemikiran Machiavelistis dari Niccolo Machiavelli, yang menegaskan bahwa negara dan pemerintah perlu bertindak keras agar “ditakuti” oleh rakyat.
Ideologi ini berkembang di Italia pada tahun 1922-1943. Fasisme berhasil menyelamatkan Italia dari anarkisme dan komunisme, walaupun begitu pada kenyataanya bahwa fasisme telah menginjak-injak demokrasi dan hak asasi.
Inti pemikiran ideologi ini, yaitu negara diperlukan untuk mengatur masyarakat. Filsafatnya ialah rakyat diperintah dengan cara-cara yang membuat mereka takut dan dengan demikian patuh kepada pemerintah. Lalu, pemerintah yang mengatur segalanya mengenai apa yang diperlukan dan tidak diperlukan oleh rakyat. Landasan pemikiran, yaitu suatu bangsa perlu mempunyai pemerintahan yang kuat dan berwibawa sepenuhnya atas berbagai kepentingan dan dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, kekuasaan negara perlu dipegang koalisi sipil dengan militer yaitu partai yang berkuasa bersama-sama pihak angkatan bersenjata.
8) Kapitalisme
Kapitalisme adalah bentuk sistem perekonomian individu. Filsafatnya, yaitu negara tidak boleh mencampuri kegiatan-kegiatan perekonomian, khususnya menyangkut kegiatan perekonomian perseorangan. Landasan pemikirannya ialah kebebasan ekonomi yang bersifat perorangan pada instansi terakhir akan mampu mengangkat kemajuan perekonomian seluruh masyarakat. Sistem pemerintahan ideologi ini adalah demokrasi.
9) Demokrasi
Demokrasi artinya hukum untuk rakyat, oleh rakyat. Kata ini merupakan himpunan dari dua kata : demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti kekuasaan. Jadi artinya kekuasaan ditangan rakyat.
Inti pemikiran ideologi ini adalah kedaulatan ditangan rakyat. Menurut Dr. M. Kamil Lailah menetapkan tiga macam justifikasi ilmiah dari prinsip demokrasi, yaitu:
a. Dilihat dari pangkal tolak dan pertimbangan yang benar, bahwa sistem ini dimaksudkan untuk kepentingan sosial dan bukan untuk kepentingan individu;
b. Unjustifikasi berbagai macam teori yang bersebrangan dengan prinsip demokrasi;
c. Opini umum dan pengaruhnya.
Landasan pemikiran bahwa rakyat membuat ketetapan hukum bagi dirinya sendiri lewat dewan perwakilan, yang kemudian dilaksanakan oleh pihak pemerintah atau eksekutif.
10) Neoliberalisme
Inti pemikiran ideologi ini adalah mengembalikan kebebasan individu. Neoliberalisme sebagai perkembangan dari liberalisme. Landasan pemikirannya ialah setiap manusia pada hakikatnya baik dan berbudi pekerti. Sistem pemerintahannya, yaitu demokrasi.

C. Fungsi Ideologi
Fungsi ideologi menurut beberapa pakar dibidangnya, antara lain :
 Menurut Cahyono (1986), ideologi berfungsi sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual.
 Setiardja (2001) berpendapat bahwa ideologi sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers) dengan generasi muda.
 Hidayat (2001) mengungkapkan fungsi ideologi sebagai kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan.
Selain itu, fungsi ideologi bagi rakyat atau masyarakat suatu bangsa dan negara ialah sebagai berikut :
 Struktur kognitif, yaitu keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitarnya;
 Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukan tujuan dalam kehidupan manusia;
 Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya;
 Landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam sekitarnya;
 Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan;
 Pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak;
 Menanamkan keyakinan akan kebenaran perjuangan kelompoknya atau negaranya.

D. Unsur-unsur Ideologi
Dalam ideologi terkandung beberapa unsur.
- Pertama, adanya suatu penafsiran atau pemahaman terhadap kenyataan.
- Kedua, setiap ideologi memuat seperangkat nilai atau preskripsi moral.
- Ketiga,ideologi memuat suatu orientasi pada tindakan untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Pemahaman terhadap kenyataan tidak hanya bertujuan untuk membeerikan informasi saja, melainkan untuk dikerjakan, yaitu mentranformasi dunia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ideologi memuat suatu interpretasi, etika, dan retorika.
Ideologi memiliki kecenderungan untuk doktriner. Hal ini dikarenakan ideologi berorientasi pada tindakan atau perbuatan untuk merealisasikan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Meskipun kecenderungan doktriner tidak selalu bermakna negatif, kemungkinan ke arah itu selalu terbuka. Obsesi atau komitmen yang berlebihan terhadap ideologi, biasanya merangsang orang untuk berpersepsi, bersikap, dan bertingkah laku sangat doktriner.
Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya hal-hal negatif tersebut, suatu ideologi harus mengandung tiga dimensi penting dalam dirinya, agar dapat memelihara relevansi yang tinggi terhadap perkembangan aspirasi masyarakat dan tuntutan perubahan zaman. Kehadiran ketiga dimensi tersebut saling berkaitan, saling mengisi, dan saling memperkuat akan menjadikan ideologi bersifat kenyal dan tahan uji dari masa ke masa.
Ketiga ideologi tersebut adalah :
1) Dimensi realitas
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama pada waktu ideologi itu lahir, sehingga masyarakat merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka bersama. Dengan begitu nilai dasar ideologi tertanam dan berakar dalam masyarakat.
2) Dimensi idelisme
Suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa ,dan bernegara. Melalui idealisme yang terkandung dalam ideologi, suatu masyarakat atau bangsa akan mengetahui ke arah mana mereka akan membangun kehidupannya. Idealisme yang terkandung dalam ideologi hendaknya berisi harapan-harapan yang masuk akal dan bisa direalisasikan.
3) Dimensi fleksibilitas
Suatu ideologi harus memungkinkan berkembangnya pemikiran-pemikiran baru tentang ideologi tersebut tanpa menghilangkan hakekat yang terkandung didalamnya. Melalui pengembangan pemikiran-pemikiran baru itu, ideologi tersebut akan dapat memelihara makna dan relevansinya tanpa kehilangan hakikatnya, sehingga ideologi tersebut beserta nilai-nilai dasarnya akan terus relevan dan komunikatif dengan masyarakat yang terus berkembang dan dinamis.

E. Makna Ideologi bagi Warga Negara
Ideologi pada hakikatnya adalah hasil refleksi manusia berkat kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Antara ideologi dan kenyataan hidup masyarakat terjadi hubungan yang dialektis, sehingga menimbulkan pengaruh timbal balik yang terwujud dalam interaksi yang di satu pihak memacu ideologi semakin realistis dan dilain pihak mendorong masyarakat makin mendekati bentuk yang ideal. Ideologi mencerminkan cara berpikir masyarakat, tetapi juga membentuk masyarakat menuju cita-cita. Dengan demikian, ideologi bukanlah sekedar pengetahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah satu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk mewujudkannya. Komitmen ini tercermin dalam sikap seseorang yang meyakini ideologinya sebagai ketentuan-ketentuan normatif yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat.
Pandangan mengenai makna ideologi bagi bangsa dan negara pada dasarnya disandarkan kepada dua acuan yang berbeda bahkan bertentangan, yaitu ideologi dalam pengertian positif dan negatif. Dalam pengertian positif, ideologi dapat memberikan semangat dan arahan yang positif bagi kehidupan masyarakat. Namun dalam pengertian negatif, ideologi dikonotasikan dengan sifat yang totaliter.
Terlepas dari pandangan positif dan negatif, keberadaan ideologi sangat penting bagi suatu bangsa dan negara. Salah satu fungsi ideologi adalah membentuk identitas kelompok atau bangsa. Dengan kata lain, ideologi mempunyai fungsi untuk mempersatukan.

MAKNA KATA

Makna kata
Dalam bahasa indonesia dikenal adanya berbagai makna kata yang berhubungan dengan kata-kata lainnya. Diantaranya
adalah jenis kata polisemi, hipernim dan hiponim. Mari kita bahas satu persatu jenis / macam makna kata tersebut mulai dari arti definisi / pengertian hingga contoh-contohnya.

A. Polisemi
Polisemi adalah kata-kata yang memiliki makna atau arti lebih dari satu karena adanya banyak komponen konsep dalam pemaknaan suatu kata. Satu kata seperti kata "Kepala" dapat diartikan bermacam-macam walaupun arti utama kepala adalah bagian tubuh manusia yang ada di atas leher.

Contoh : "Kepala"
- Guru yang dulunya pernah menderita cacat mental itu sekarang menjadi kepala sekolah smp kroto emas. (kepala bermakna pemimpin).
- Kepala anak kecil itu besar sekali karena terkena penyakit hidrosepalus. (kepala berarti bagian tubuh manusia yang ada di atas).
- Tiap kepala harus membayar upeti sekodi tiwul kepada ki joko cempreng. (kepala berarti individu).
- Pak Sukatro membuat kepala surat untuk pengumuman di laptop eee pc yang baru dibelinya di mangga satu. (kepala berarti bagian dari surat).


B. Hipernim dan Hiponim
Hipernim adalah kata-kata yang mewakili banyak kata lain. Kata hipernim dapat menjadi kata umum dari penyebutan kata-kata lainnya. Sedangkan hiponim adalah kata-kata yang terwakili artinya oleh kata hipernim. Umumnya kata-kata hipernim adalah suatu kategori dan hiponim merupakan anggota dari kata hipernim.
Contoh :
- Hipernim : Hantu
- Hiponim : Pocong, kantong wewe, sundel bolong, kuntilanak, pastur buntung, tuyul, genderuwo, suster ngesot, dan lain-lain.

- Hipernim : Ikan
- Hiponim : Lumba-lumba, tenggiri, hiu, betok, mujaer, sepat, cere, gapih singapur, teri, sarden, pari, mas, nila, dan sebagainya.

- Hipernim : Odol
- Hiponim : Pepsodent, ciptadent, siwak f, kodomo, smile up, close up, maxam, formula, sensodyne, dll.

- Hipernim : Kue
- Hiponim : Bolu, apem, nastar nenas, biskuit, bika ambon, serabi, tete, cucur, lapis, bolu kukus, bronis, sus, dsb.

Majas

A. Pengertian Majas

Majas adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Majas sering pula disebut gaya bahasa.

Adapun Macam-Macam Majas dibagi menjadi 4, yaitu:
Majas Perbandingan, Sindiran, Penegasan dan Majas Pertentangan,

1. Majas perbandingan
Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
Sinestesia: Metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
Litotes: Ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri.
Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
Personifikasi: Pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.
Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.

2. Majas sindiran
Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

3. Majas penegasan
Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
Sigmatisme: Pengulangan bunyi “s” untuk efek tertentu.
Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
siKoreko: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

4. Majas pertentangan
Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya

Majas Metonimia
Majas ini mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Contoh Majas Metonimia :
Pena lebih berbahaya dari pedang

Majas Persamaan atau simile
Majas ini mengandung perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit adalah langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.
Contoh Majas Persamaan atau simile :
a. Kikirnya seperti kepiting batu.
b. Mukanya merah laksana kepiting rebus. ( Majas Persamaan atau simile )

Majas Metafora
Majas ini semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Makna sebuah metafora dibatasi oleh sebuah konteks.
Contoh Majas Metafora :
Perahu itu menggergaji ombak. ( Majas Metafora )

Majas Personifikasi
Majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolaholah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia.
Contoh Majas Personifikasi :
a. Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami.
b. Kata-katanya tajam seperti mata pisau. ( Majas Personifikasi )

Majas Ironi atau sindiran
Majas ini ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya.
Contoh Majas Ironi atau sindiran :
a. Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat!
b. Kamu datang sangat tepat waktu, sudah 5 mobil tujuan kita melintas. ( Majas Ironi atau sindiran )

Majas Sinisme
Sinisme adalah sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati.
Contoh Majas Sinisme :
Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya.

Majas Sarkasme
Majas ini lebih kasar dari ironi dan sinisme. Majas sarkasmemengandung kepahitan dan celaan yang getir.
Contoh Majas Sarkasme :
a. Mulut harimau kau!
b. Lihat sang Raksasa itu! (maksudnya si Cebol) ( Majas Sarkasme )

Majas Sinekdoke
Semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro parte).
Contoh Majas Sinekdoke :
a. Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,00 ( Majas Sinekdoke pars pro toto ).
b. Pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia berakhir dengan kemenangan Indonesia ( Majas Sinekdoke totem pro parte ).

Majas Hiperbola
Majas yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Contoh Majas Hiperbola :
a. Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir meledak kepalaku.
b. Sudilah tuan mampir di gubuk sederhana saya. ( Majas Hiperbola )
Majas Eufimisme
Majas yang menyatakan sesuatu dengan ungkapan yang lebih halus.
Contoh Majas Eufimisme :
a. Untuk menjaga kesetabilan ekonomi, pemerintah menetapkan kebijakan penyesuaian harga BBM. (kenaikan harga).
b. Untuk mengatasi masalah keuangan, perusahaan itu merumahkan sebagian karyawannya. (mem-PHK). ( Majas Eufimisme )

Majas Litotes
Majas yang menyatakan sesuatu lebih rendah dengan keadaan sebenarnya.
Contoh Majas Litotes :
Apalah artinya saya ini, sedikit yang bisa saya sumbangkan bagi generasi bangsaku. ( Majas Litotes )

Majas Retoris
Majas ini berupa pertanyaan yang tidak menuntut suatu jawaban.
Contoh:
a.inikah yang kamu namai bekerja? (pekerjaan sungguh buruk)
b. mana mungkin orang mati hidup kembali! (artinya tak mungkin)

MORFOLOGI (TATA BENTUK)

Pada bagian ini akan dipaparkan:
pengertian morfologi;
perbandingan morfologi dengan leksikologi;
perbandingan morfologi dengan etimologi; dan
morfologi dengan sintaksis

Pengertian Morfologi
Morfologi atau tata bentuk (Ingg. morphology; ada pula yang menyebutnya morphemics) adalah bidang linguistic yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal (Verhaar, 1984 : 52). Dengan perkataan lain, morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, dan klasifikasi kata-kata. Dalam linguistik bahasa Arab, morfologi ini disebut tasrif, yaitu perubahan suatu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentuk untuk mendapatkan makna yang berbeda (baru). Tanpa perubahan bentuk ini, maka yang berbeda tidak akan terbentuk (Alwasilah, 1983 : 101).
Untuk memperjelas pengertian di atas, perhatikanlah contoh-contoh berikut dari segi struktur atau unsur-unsur yang membentuknya,
a. makan
makanan
dimakan
termakan
makan-makan
dimakankan
rumah makan b. main
mainan
bermain
main-main
bermain-main
permainan
memainkan
Contoh-contoh yang terpampang di atas, semuanya disebut kata. Namun demikian, struktur kata-kata tersebut berbeda-beda. Kata makan terdiri atas satu bentuk bermakna. Kata makanan, dimakan, dan termakan masing-masing terdiri atas dua bentuk bermakna yaitu –an, di-, ter- dengan makan. Kata makan-makan terdiri atas dua bentuk bermakna makan dan makan. Rumah makan pun terdiri atas dua bentuk bermakan rumah dan makan. Kata main, sama dengan kata makan terdiri atas satu bentuk bermakna, sedangkan kata mainan, bermain, main-mainan, permainan, memainkan masing-masing terdiri atas dua buah bentuk bermakna yakni –an, ber-, main, per-an, me-kan dengan main. Kata bermain-main terdiri atas tiga bentuk bermakna ber-, main, dan main.
Berdasarkan contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa bentuk-bentuk tersebut dapat berubah karena terjadi suatu proses. Kata makan dapat berubah menjadi makanan, dimakan, termakan karena masing-masing adanya penambahan –an, di-, dan ter-, dapat pula menjadi makan-makan karena adanya pengulangan, dapat pula menjadi rumah makan karena penggabungan dengan rumah. Perubahan bentuk atau struktur kata tersebut dapat pula diikuti oleh perubahan jenis atau makna kata. Kata makan termasuk jenis atau golongan kata kerja sedangkan makanan termasuk jenis atau golongan kata benda. Dari segi makna kata makan maknanya ‘memasukan sesuatu melalui mulut’, sedangkan makanan maknanya ‘semua benda yang dapat dimakan’.
Seluk-beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-perubahan struktur kata terhadap golongan dan arti atau makna kata seperti contoh di atas itulah yang dipelajari oleh bidang morfologi (Ramlan, 1983 : 3). Prawirasumantri (1985 : 107) lebih tegas merinci bidang yang dibahas oleh morfologi yakni : (1) morfem-morfem yang terdapat dalam sebuah bahasa, (2) proses pembentukan kata, (3) fungsi proses pembentukan kata, (4) makna proses pembentukan kata, dan (5) penjenisan kata.

Perbandingan Morfologi dengan Leksikologi
Kata kosong mempunyai berbagai makna dalam pemakaiannya, antara lain :
Tidak ada isinya; misalnya: peti besinya telah kosong.
Hampa, berongga (geronggang) di dalamnya; misalnya: tinggal butir-butir padi yang kosong.
Tidak ada yang menempati; misalnya: rumah itu kosong.
Terluang; misalnya: waktu kosong.
Tidak mengandung sesuatu yang penting atau berharga; misalnya: perkataannya kosong. (Poerwadarminta, 1985 : 524).
Selain itu, ada pula kata-kata mengosongkan ‘menjadikan kosong’, pengosongan ‘perbuatan mengosongkan’, kekosongan ‘keadaan kosong’ atau ‘menderita sesuatu karena kosong’.
Morfologi danLeksikologi sama-sama mempelajari kata, ari kata, akan tetapi si antara keduanya terdapat perbedaan. Leksikologi mempelajari arti yang lebih kurang tetap yang terkandung dalam kata atau yang lazim disebut arti leksis atau makna leksikal, sedangkan morfologi mempelajari arti yang timbul akibat peristiwa gramatis yang biasa disebut arti gramatis atau makna gramatikal. Sebagai contoh kita bandingkan kata kosong dengan mengosongkan. Kedua kata itu masing-masing mepunyai arti leksis atau makna leksikal. Kosong antara lain artinya ada lima butir seperti yang tertera pada contoh di atas, sedangkan mengosongkan makna atau artinya ‘menjadikan atau membuat jadi kosong’. Mengenai arti leksis kedua kata tersebut dibicarakan dalam leksikologi, sedangkan dalam morfologi dibicarakan makna atau arti yang timbul akibat melekatnya imbuhan atau afiks meN-kan.

Perbandingan Morfologi dengan Etimologi
Dalam penyelidikan makna, morfologi berdekatan dengan leksikologi, sedangka dalam penyelidikan bentuk, morfologi berdekatan dengan etimologi, yakni ilmu yang menyelidiki seluk-beluk asal-usul kata secara khusus (Ramlan 1978 dalam Prawirasumantri, 1985 : 109).
Walau morfologi dan etimologi mempelajari masalah yang sama yakni perubahan bentuk, namun ada perbedaannya. Morfologi mempelajari perubahan kata yang disebabkan atau yang terjadi akibat sistem bahasa secara umum. Sebagai contoh, dari kata pakai terbentuk kata-kata baru pakaian, memakai, dipakai, terpakai, berpakaian. Perubahan-perubahan itu disebabkan oleh sistem bahasa yaitu sistem afiksasi atau pembubuhan afiks. Gejala itulah yang dipelajari oleh morfologi. Namun perhatikanlah contoh-contoh berikut: kenan di samping berkenan; ia di samping dia, yang, dan –nya dan tuan di samping tuhan. Perubahan-perubahan tersebut bukan bersifat umum atau bukan akibat sistem bahasa Indonesia. Perubahan tersebut hanya terjadi untuk kata-kata tersebut, tidak berlaku untuk kata-kata lain. Perubahan-perubahan itu bukan dipelajari oleh morfologi atau ilmu asal-usul kata.

Perbandingan Morfologi dengan Sintaksis
Satu lagi cabang ilmu bahasa yang berdekatan dengan morfologi yaitu sintaksis. Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani sun “dengan” dan tattien “menempatkan”. Dengan jelas, menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat dan kelompok-kelompok kata menjadi kalimat (Verhaar, 1985 : 70).
Bidang sintaksis menyelidiki semua hubungan antarkata dan antarkelompok kata dalam kalimat. Di lain pihak, morfologi mempelajari seluk-beluk kata itu sendiri secara mandiri tanpa memperhatikan hubungannya dalam kalimat. Tegasnya dapat dikatakan bahwa unsur yang paling kecil yang dipelajari oleh morfologi ialah morfem dan yang paling besar ialah kata, sedangkan sintaksis mempelajari unsur yang paling kecil ialah kata dan yang terbesar kalimat (Prawirasumanttri, 1985 : 110).
Ramlan (1980 : 5) memberikan contoh untuk membedakan bidang garapan morfologi dan sintaksis dalam kalimat, “Ia mengadakan perjalanan.” Jika kita membicarakan ia sebagai bentuk tunggal, mengadakan dan perjalanan sebagai bentuk kompleks, termasuk garapan bidang morfologi, tetapi jika pembicaraan mengenai ia sebagai subjek, mengadakan sebagai predikat dengan kata perjalanan sebagai objek termasuk garapan sintaksis.
Dengan membaca uraian di atas, kita seolah-olah dapat dengan mudah mengetahui batas yang tegas bidang garapan morfologi dengan sintaksis. Sebenarnya tidaklah selalu demikian. Kita ambil contoh bentuk-bentuk ketidakadilan, ketidakmampuan, dan ketidaktentraman. Pembicaraan kata-kata tersebut sebagai bentuk kompleks yang terdiri atas bentuk ke-an dengan tidak adil, tidak mampu, tidak tentram termasuk ke dalam bidang morfologi. Akan tetapi pembicaraan mengenai hubungan antara tidak dengan adil, mampu, dan tentram termasuk ke dalam bidang sintaksis. Pembicaraan tentang bentuk yang salah satu unsurnya berupa afiks atau imbuhan termasuk dalam bidang morfologi, sedangkan bentuk yang semua unsurnya berupa kata (bentuk yang seperti itu sering disebut frase) termasuk ke dalam bidang sintaksis (Ramlan dalam Prawirasumantri, 1985 : 110).
Contoh lain yang menunjukkan bahwa morfologi dan sintaksissulit ditentukan batasnya yaitu pembicaraan tentang kata majemuk yang semua unsurnyapokok kata atau kata seperti: tinggi hati, keras kepala, sapu tangan, dan sejenisnya. Pembicaraan bentuk-bentuk seperti itu tampaknya seperti termasuk kedalam sintaksis, tetapi karena bentuk-bentuk itu mempunyai sifat seperti kata, maka pembicaraannya termasuk ke dalam bidang morfologi. Hal itu disebabkan karena kata majemuk termasuk golongan kata. Bukankah morfologi mempelajari kata sebagai unsur yang terbesar?

Uji Pemahaman Materi
Untuk menguji apakah anda memahami materi yang dipaparkan di atas atau belum, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut.

Silanglah huruf yang berada di depan jawaban yang paling tepat.
Hal-hal berikut ini disdeskripsikan dalam morfologi, kecuali …
a. morfem-morfem yang terdapat dalam suatu bahasa
b. proses pembentukan kata dalam suatu bahasa
c. makna gramatikal kata-kata bentukan dalam suatu bahasa
d. makna hubungan antarkata dalam kelompok kata
e. fungsi proses pembentukan kata
Satuan gramatik yang dibahas oleh morfologi ialah …
a. morfem
b. kata
c. morfem dan kata
d. frase, klausa, kalimat
e. morfem, kata, frase, klauda, dan kalimat
Morfologi dan etimologi, sama-sama mempelajari bentuk kata, namun ada perbedaannya. Perubahan bentuk yang dipelajari oleh etimologi …
a. disebabkan oleh sistem bahasa yang dipelajari
b. disebabkan bukan oleh sistem bahasa yang dipelajari
c. tidak mempedulikannya
d. kata yang terdapat dalam kamus
e. a, b, dan c benar
Buku mempunyai makna antara lain: (1) tulang sendi, (2) butir atau gumpal (garam sebuku), (3) setampang atau selipat (tembakau lima buku, bamboo sebuku). Pembahasan makna kata seperti itu, hasil telaah bidang …
a. etimologi
b. leksikologi
c. sintaksis
d. semantik
e. morfologi
Seorang mahasiswa menganalisis kalimat, “Rudi membeli buku tulis.” Salah satu hasil analisisnya berbunyi, “Rudi dalam kalimat itu sebagai pelaku”. Pendekatan analisis yang digunakan mahasiswa tersebut adalah …
a. morfologi
b. leksikon
c. etimologi
d. sintaksis
e. semantik
Kata perlakuan terdiri atas dua unsur yaitu per-an dan laku. Pernyataan tersebut merupakan hasil analisis bidang …
a. morfologi
b. etimologi
c. sintaksis
d. semantik
e. leksikologi
Kata ilmu yang dalam bahasa Indonesia berarti “pengetahuan” berasal dari bahasa Arab Ilmun yang berasal dari alama. Kesimpulan tersebut merupakan hasil telaah …
a. etimologi
b. morfologi
c. sintaksis
d. leksikologi
e. semantik
Morfologi mempunyai persamaan dengan leksikologi yaitu sama-sama mempelajari …
a. bentuk kata
b. perubahan kata
c. jenis kata
d. fungsi proses pembentukan kata
e. makna kata
Kata merupakan objek penyelidikan morfologi maupun sintaksis. Namun demikian terdapat perbedaan perlakuan di antara dua bidang tersebut. Yang ditinjau sintaksis …
a. kata itu sendiri
b. hubungan antarkata dalam kelompok kata
c. hubungan morfem ikat dengan kata
d.bentuk-bentuk kata
e. arti dan fungsi kata
Ayah melambaikan tangannya berulang-ulang. Kalimat tersebut berpola SPOK. Pernyataan tersebut merupakan hasil analisis bidang …
a. sintaksis
b. morfologi
c. leksikologi
d. semantik
e. etimologi

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut secarasingkat dan tepat ! jawaban anda kerjakan di rumah dan hasilnya anda kumpulkan satu minggu kemudian.
a. Apa yang dimaksud dengan morfologi?
b. Sebutkan satuan gramatik yang menjadi garapan morfologi !
c. Sebutkan pula rincian lingkup bahasan morfologi?
2) Apa perbedaan dan persamaan morfologi dengan:
a. leksikologi;
b. etimologi; dan
c. sintaksis.
Penjelasan yang anda berikan hendaknya disertai dengan contoh.